Al-’Allamah
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:
“Al-Qur`an
mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang,
namun hanya bagi kaum mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu
dengannya. Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan dan tidak
mengamalkannya, maka ayat- ayat tersebut tidaklah menambah baginya kecuali
kerugian. Karena, hujjah telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.
وَنُنَزِّلُ
مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ
الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
“Dan
Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra`: 82)
Penjelasan
Beberapa Mufradat Ayat
نُنَزِّلُ
“Kami
turunkan.” Jumhur ahli qiraah membacanya dengan diawali nun dan bertasydid.
Adapun Abu ‘Amr membacanya dengan tanpa tasydid (نُنْزِلُ). Sedangkan Mujahid
membacanya dengan diawali huruf ya` dan tanpa tasydid (يُنْزِلُ). Al-Marwazi
juga meriwayatkan demikian dari Hafs. (Tafsir Al-Qurthubi, 10/315 dan Fathul
Qadir, Asy-Syaukani, 3/253)
مِنَ
الْقُرْآنِ
“dari
Al-Qur`an.” Kata min (مِنْ) dalam ayat ini, menurut pendapat yang rajih (kuat),
menjelaskan jenis dan spesifikasi yang dimiliki Al-Qur`an. Kata min di sini
tidak bermakna “sebagian”, yang mengesankan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur`an
ada yang tidak termasuk syifa` (penawar), sebagaimana yang dirajihkan oleh
Ibnul Qayyim rahimahullahu. Kata min pada ayat ini seperti halnya yang terdapat
dalam firman-Nya:
وَعَدَ
اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi…” (An-Nur: 55)
Kata
min dalam lafadz مِنْكُمْ tidaklah bermakna sebagian, sebab mereka seluruhnya
adalah orang- orang yang beriman dan beramal shalih. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi,
10/316, Fathul Qadir, 3/253, dan At-Thibb An-Nabawi, Ibnul Qayyim, hal. 138)
شِفَاءٌ
“Penyembuh.”
Penyembuh yang dimaksud di sini meliputi penyembuh atas segala penyakit, baik
rohani maupun jasmani, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tafsirnya.
Penjelasan
Tafsir Ayat
Ibnu
Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang
kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu
Al-Qur`an, yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya baik dari sisi depan
maupun belakang, yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji,
bahwa sesungguhnya Al-Qur`an itu merupakan penyembuh dan rahmat bagi kaum
mukminin. Yaitu menghilangkan segala hal berupa keraguan, kemunafikan,
kesyirikan, penyimpangan, dan penyelisihan yang terdapat dalam hati. Al-Qur`an-
lah yang menyembuhkan itu semua. Di samping itu, ia merupakan rahmat yang
dengannya membuahkan keimanan, hikmah, mencari kebaikan dan mendorong untuk
melakukannya. Hal ini tidaklah didapatkan kecuali oleh orang yang mengimani,
membenarkan, serta mengikutinya. Bagi orang yang seperti ini, Al-Qur`an akan
menjadi penyembuh dan rahmat.
Adapun
orang kafir yang mendzalimi dirinya sendiri, maka tatkala mendengarkan
Al-Qur`an tidaklah bertambah baginya melainkan semakin jauh dan semakin kufur.
Dan sebab ini ada pada orang kafir itu, bukan pada Al-Qur`annya. Seperti firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ
هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ فِي
آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ
بَعِيْدٍ
“Katakanlah:
‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan
orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang
Al-Qur`an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti)
orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.” (Fushshilat: 44)
Dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَإِذَا
مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ
إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ
يَسْتَبْشِرُوْنَ. وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ
رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُوْنَ
“Dan
apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada
yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya)
surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya,
sedang mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada
penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping
kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.”
(At-Taubah: 124-125)
Dan
masih banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini.” (Tafsir Ibnu Katsir,
3/60)
Al-’Allamah
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:
“Al-Qur`an
mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang, namun
hanya bagi kaum mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu dengannya.
Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan dan tidak mengamalkannya, maka
ayat- ayat tersebut tidaklah menambah baginya kecuali kerugian. Karena, hujjah
telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.
Penyembuhan
yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum meliputi penyembuhan hati dari
berbagai syubhat, kejahilan, berbagai pemikiran yang merusak, penyimpangan yang
jahat, dan berbagai tendensi yang batil. Sebab ia (Al-Qur`an) mengandung ilmu
yakin, yang dengannya akan musnah setiap syubhat dan kejahilan. Ia merupakan
pemberi nasehat serta peringatan, yang dengannya akan musnah setiap syahwat
yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di samping itu, Al-Qur`an
juga menyembuhkan jasmani dari berbagai penyakit.
Adapun
rahmat, maka sesungguhnya di dalamnya terkandung sebab-sebab dan sarana untuk
meraihnya. Kapan saja seseorang melakukan sebab-sebab itu, maka dia akan menang
dengan meraih rahmat dan kebahagiaan yang abadi, serta ganjaran kebaikan, cepat
ataupun lambat.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 465)
Al-Qur`an
Menyembuhkan Penyakit Jasmani
Suatu
hal yang menjadi keyakinan setiap muslim bahwa Al-Qur`anul Karim diturunkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberi petunjuk kepada setiap manusia,
menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkiti manusia, bagi mereka yang
diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dirahmati-Nya. Namun apakah
Al-Qur`an dapat menyembuhkan penyakit jasmani?
Dalam
hal ini, para ulama menukilkan dua pendapat: Ada yang mengkhususkan penyakit
hati; Ada pula yang menyebutkan penyakit jasmani dengan cara meruqyah, ber-ta’awudz,
dan semisalnya. Ikhtilaf ini disebutkan Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya. Demikian
pula disebutkan Asy- Syaukani dalam Fathul Qadir, lalu beliau berkata: “Dan
tidak ada penghalang untuk membawa ayat ini kepada dua makna tersebut.” (Fathul
Qadir, 3/253)
Pendapat
ini semakin ditegaskan Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya
Zadul Ma’ad:
“Al-Qur`an
adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian
pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan
taufiq untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten
berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan
keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan
syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya
selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman
Dzat yang memiliki langit dan bumi. Jika diturunkan kepada gunung, maka ia akan
menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka
tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani, melainkan
dalam Al-Qur`an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan)
nya.” (Zadul Ma’ad, 4/287)
Berikut
ini kami sebutkan beberapa riwayat berkenaan tentang pengobatan dengan
Al-Qur`an.
Di
antaranya adalah apa yang diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya dari
hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.Beliau radhiallahu ‘anha berkata: “Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena sihir1, sehingga beliau
menyangka bahwa beliau mendatangi istrinya padahal tidak mendatanginya.
Lalu
beliau berkata: ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah kamu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku. Kemudian
salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di sebelah kakiku. Yang
di sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’
Dijawab:
‘Terkena sihir.’
Yang
satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’
Dijawab:
‘Labid bin Al-A’sham, lelaki dari Banu Zuraiq sekutu Yahudi, ia seorang
munafiq.’
(Yang
satu) bertanya: ‘Dengan apa?’
Dijawab:
‘Dengan sisir, rontokan rambut.’
(Yang
satu) bertanya: ‘Di mana?’
Dijawab:
‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yang ada di bawah sumur Dzarwan’.”
‘Aisyah
radhiallahu ‘anha lalu berkata: “Nabi lalu mendatangi sumur tersebut hingga
beliau mengeluarkannya. Beliau lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku
diperlihatkan seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kormanya seperti
kepala-kepala setan’. Lalu dikeluarkan. Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak
mengeluarkannya (dari mayang korma jantan tersebut, pen.)?’ Beliau menjawab:
‘Demi Allah, sungguh Allah telah menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya
kejahatan di kalangan manusia’.”
Hadits
ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya (kitab At-Thib, bab Hal
Yustakhrajus Sihr? jilid 10, no. 5765, bersama Al-Fath). Juga dalam Shahih-nya
(kitab Al-Adab, bab Innallaha Ya`muru Bil ‘Adl, jilid 10, no. 6063). Juga
diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang terdapat dalam Musnad
Asy-Syafi’i (2/289, dari Syifa`ul ‘Iy), Al-Asfahani dalam Dala`ilun Nubuwwah
(170/210), dan Al-Lalaka`i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah (2/2272).
Namun ada tambahan bahwa ‘Aisyah berkata: “Dan turunlah (firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala):
قُلْ
أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Hingga
selesai bacaan surah tersebut.”
Demikian
pula yang diriwayatkan Al-Imam Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya, dari
hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Sekelompok2
shahabat Nabi berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh. Singgahlah
mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai tamu,
namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka.
Selang
beberapa waktu kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan
(kalajengking). Penduduk kampung tersebut pun berusaha mencari segala upaya
penyembuhan, namun sedikitpun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang
berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para
shahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’
Mereka
pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami
tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak
membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu?
Sebagian shahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi
Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak menjamu kami.
Maka aku tidak akan meruqyah untuk kalian hingga kalian memberikan upah kepada
kami.’
Mereka
pun setuju untuk memberi upah beberapa ekor kambing3. Maka dia (salah seorang
shahabat) pun meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu Alhamdulillahi
rabbil ‘alamin (Al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari
ikatan, lalu dia berjalan tanpa ada gangguan lagi.
Mereka
lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati. Sebagian shahabat berkata:
‘Bagilah.’ Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan kalian lakukan, hingga kita
menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita menceritakan
kepadanya apa yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau perintahkan
kepada kita.’
Merekapun
menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian melaporkan hal
tersebut. Maka beliau bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (Al-Fatihah,
pen.) memang ruqyah?’ Lalu beliau berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah
(upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian’, sambil beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tertawa.”
Adapun
hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
خَيْرُ
الدَّوَاءِ الْقُرْآنُ
“Sebaik-baik
obat adalah Al-Qur`an.”
Dan
hadits:
الْقُرْآنُ
هُوَ الدَّوَاءُ
“Al-Qur`an
adalah obat.”
Keduanya
adalah hadits yang dha’if, telah dilemahkan oleh Al-Allamah Al-Albani
rahimahullahu dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 2885 dan 4135.
Membuka
Klinik Ruqyah
Di
antara penyimpangan terkait dengan ruqyah adalah menjadikannya sebagai profesi,
seperti halnya dokter atau bidan yang membuka praktek khusus. Ini merupakan
amalan yang menyelisihi metode ruqyah di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh berkata ketika menyebutkan beberapa
penyimpangan dalam meruqyah:
“Pertama,
dan yang paling besar (kesalahannya), adalah menjadikan bacaan (untuk
penyembuhan) atau ruqyah sebagai sarana untuk mencari nafkah, di mana dia
memfokuskan diri secara penuh untuk itu. Memang telah dimaklumi bahwa manusia
membutuhkan ruqyah. Namun memfokuskan diri untuk itu, bukanlah bagian dari
petunjuk para shahabat di masanya. Padahal di antara mereka ada yang sering
meruqyah. Namun bukan demikian petunjuk para shahabat dan tabi’in.
(Menjadikan
meruqyah sebagai profesi) baru muncul di masa-masa belakangan. Petunjuk Salaf
dan bimbingan As-Sunnah dalam meruqyah adalah seseorang memberikan manfaat
kepada saudara-saudaranya, baik dengan upah ataupun tidak. Namun janganlah dia
memfokuskan diri dan menjadikannya sebagai profesi seperti halnya dokter yang
mengkhususkan dirinya (pada perkara ini). Ini baru dari sudut pandang bahwa hal
tersebut tidak terdapat (contohnya) pada zaman generasi pertama.
Demikian
pula dari sisi lainnya. Apa yang kami saksikan pada orang-orang yang
mengkhususkan diri (dalam meruqyah) telah menimbulkan banyak hal terlarang.
Siapa yang mengkhususkan dirinya untuk meruqyah, niscaya engkau mendapatinya
memiliki sekian penyimpangan. Sebab dia butuh prasyarat-prasyarat tertentu yang
harus dia tunaikan dan yang harus dia tinggalkan. Serta ‘menjual’ tanpa
petunjuk. Barangsiapa meruqyah melalui kaset-kaset, suara-suara, di mana dia
membaca di sebuah kamar, sementara speaker berada di kamar yang lain, dan yang
semisalnya, merupakan hal yang menyelisihi nash. Ini sepantasnya dicegah untuk
menutup pintu (penyimpangan). Sebab sangat mungkin akan menjurus kepada hal-hal
tercela dari para peruqyah yang mempopulerkan perkara-perkara yang terlarang
atau yang tidak diperkenankan syariat. (Ar-Ruqa Wa Ahkamuha, Asy-Syaikh Shalih
Alus Syaikh, hal. 20-21)
1
Sebagian para pengekor hawa nafsu dari kalangan orientalis dan ahli bid’ah
mengingkari hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah terkena sihir, dan berusaha menolaknya dengan berbagai alasan batil. Dan
telah kami bantah –walhamdulillah- para penolak hadits ini dalam sebuah kitab
yang berjudul Membedah Kebohongan Ali Umar Al-Habsyi Ar- Rafidhi, Bantahan
ilmiah terhadap kitab: Benarkah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah tersihir? Dan kami membahas secara rinci menurut ilmu riwayat maupun
dirayah hadits. Silahkan merujuk kepada kitab tersebut.
2
Dalam riwayat lain mereka berjumlah 30 orang.
3 Dalam riwayat lain: 30 ekor kambing, sesuai jumlah mereka
0 komentar:
Posting Komentar